Senin, 16 Januari 2017

Kanjeng Sunan Kali Jaga – (sejarah dan kisah tealadan)

Sunan Kalijaga dalam Sejarah
Menurut buku Babat Tanah Jawa, bahwa Sunan Kalijaga itu bernama asli Raden Sahid atau Jaka Setya. Raden Said adalah seorang putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Menurut catatan silsilahnya, Raden Sahid adalah keturunan Adipati Tuban yang pertama yaitu Rangga Lawe atau Aria Adikara yang berputra Aria Teja I yang berputra Aria Teja II, berputra Aria Teja III, berputra Raden Tumenggung Wilatikta yang berputra Raden Said (Sunan Kalijaga).
Adapun Aria Teja I dan II itu masih memeluk agama Hindu, sedang Aria Teja III dan Raden Tumenggung Wilatikta sudah memeluk agama Islam. Maka pantas jika Raden Said sejak kecil sudah mendapat gemblengan dan pelajaran agama Islam dari orang tuanya.
Alkisah di tengah kegelapan malam itu, seorang pemuda mengendap-endap memasuki salah satu gudang milik Kadipaten Tuban, disana tertimbun bahan makanan dan barang-barang lainnya yang siap dikirim ke Majapahit. Tuban adalah salah satu daerah taklukan Majapahit. Setiap bulan Tuban harus mengirim upeti alias pajak ke Majapahit. Dengan sepenuh tenaga ia bongkar isi gudang itu seorang diri, kemudian barang-barang jarahan itu ia taruh di depan pintu rumah-rumah para penduduk miskin yang kelaparan. Hal itu dilakukan berulang-ulang, sampai pada suatu hari penjaga gudang curiga karena barang-barangnya berkurang, tapi ia takut melaporkannya kepada sang Adipati karena takut dikira ceroboh atau salah-salah malah dituduh sebagai pencuri.
Penduduk yang menerima kiriman itu tentu sangat gembira karena kebutuhannya terpenuhi. Tapi mereka tidak tahu siapa pengirimnya. Masa bodoh, yang penting perut kenyang. Dilain pihak para penjaga gudang meningkatkan pengawasannya, sampai pada suatu malam berhasil menangkap si perampok. Namun mereka terperanjat setengah mati karena tidak menduga si penjarah ternyata putra sang Adipati sendiri, yaitu Raden Said. Sang Adipati Tumenggung Wilatikta, lebih terperanjat lagi karena selain tidak menduga ia juga merasa mukanya dicoreng oleh anaknya sendiri. Maka sebagai hukumannya anak itu dicambuk 100 kali pada kedua tangannya.
Perilaku Raden Said yang laksana Robin Hood itu karena keinginannya untuk membantu penduduk miskin tetapi tetap harus membayar pajak. Ayahnya meski seorang Adipati, tidak mampu menanggulangi kemiskinan warganya karena ia sendiri juga terjepit dalam situasi yang sama. Semua Adipati diwajibkan membayar upeti, karena sepeninggal Patih Gajah Mada, Majapahit sudah dalam keadaan yang hampir bangkrut. Majapahit sudah diambang keruntuhan, dan situasi itu dimanfaatkan oleh beberapa Adipati, punggawa dan pembesar keraton untuk mbalelo memisahkan diri. Pemberontakan terjadi dimana-mana, kontrol keamanan menjadi longgar, perampokan merajalela. Kehidupan masyarakat tingkat atas marak dengan tindak amoral dan asusila. Mereka saling memanfaatkan kesempatan untuk menumpuk kekayaan.
WELAS ASIH
Situasi semacam itulah yang dihadapi Raden Said ketika ia tumbuh menjadi dewasa di Tuban, meski kadipaten ini tidak ikut-ikutan mbalelo. Namun hati kecilnya, tidak rela melihat kemiskinan yang harus di tanggung rakyat Tuban. Sebagai anak Adipati ia mendapat pendidikan agama (islam) yang baik dari kedua orang tuanya. Itu sebabnya ia dikenal sebagai anak yang patuh kepada orang tuanya, berbudi pekerti luhur, welas asih kepada orang yang lemah.
Namun, hukuman cambuk tidak menyurutkan langkah Raden Said, ia malah melebarkan sayap dengan menyatroni rumah-rumah orang kaya yang kikir dan para pejabat yang korup. Ia benar-benar menjadi kecu, perampok dengan menggunakan dan topeng serba hitam. Hasil jarahannya tetap dikirim kepada penduduk yang miskin. Tapi rupanya perbuatan ini berhasil diketahui oleh pimpinan perampok yang memang sudah merajalela. Cara Raden Said ditiru oleh perampok sungguhan, akibatnya perampokan terjadi dimana-mana. Maka ketika terjadi perampokan dan perkosaan yang dilakukan oleh segerombolan perampok, orang-orang menuduh Raden Said yang melakukannya. Semula ia bermaksud menolong korban perkosaan, tapi malah terperangkap dan tertangkap oleh warga kampung yang sudah mengepungnya, celakanya si perampok dan pemerkosa telah berhasil lolos terlebih dulu.
Di depan ayahnya Raden Said tidak mampu membela diri. Sang Adipati yang merasa sangat dipermalukan oleh perbuatan putranya itu pun murka, lalu mengusir anaknya. Raden Said tidak boleh menginjakkan kaki di Kadipaten Tuban.
Raden Said dianggap telah mengotori nama baik keluarganya sendiri, dan tidak boleh kembali ke Istana Kadipaten sebelun dapat menggetarkan dinding Istana Kadipaten dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering di bacanya.
Dengan hati hancur Raden Said meninggalkan Kadipaten Tuban membawa diri kemana saja kaki melangkah, namun niatnya membantu fakir miskin tetap ia pegang teguh. Dalam petualangannya itu ia dikenal sebagai berandal lokajaya, alias pemuda yang sangat sakti dan tanpa tanding. Suatu hari ia berhasil menguasai sebuah sudut hutan yang disebut Jatiwangi. Hutan ini merupakan urat nadi dan jalur hidup bagi para pedagang, pejalan kaki dan bahkan para perampok, maling dan sebagainya.
Pada suatu pagi yang cerah lewatlah di hutan Jatiwangi seorang tua berjubah putih, ia membawa sebilah tongkat yang bersinar menyilaukan mata. Agaknya tongkat itu memantulkan sinar matahari. Raden Said yang mengintai dari kejauhan jadi penasaran, “pastilah tongkat itu terbuat dari emas,” pikirnya. Pada masa itu memang tak jarang orang memilki tongkat yang disepuh emas. Tanpa mengindahkan calon korbannya adalah orang tua, ia menyergap dam memburu orang tua itu, dan berhasil melumpuhkan tapi ketika ia ingin menarik tongkat itu ternyata tidak mudah.
TERJERAMBAB KE TANAH
“Apa manfaat tongkat ini bagimu hai anak muda?” tanya orang tua itu.
“Tentu saja sangat berguna! Akan kujual, dan uangnya akan kubagikan kepada fakir miskin,” jawab Raden Said. Mendengar jawaban ini orang tua itu terperangah. “niatmu memang luhur hai anak muda, tapi tidak begini caranya. Cara yang kamu tempuh bertentangan sekali dengan niat baikmu itu. Kalau kamu ingin benar-benar membantu fakir miskin janganlah bersedekah dengan hasil rampokan yang haram. Allah tidak akan menerima sedekah seseorang dari hasil jarahan yang haram,” kata orang tua itu.
Tapi kata-kata bijak itu tidak menyentuh hati nurani Raden Said. Niatnya merebut tongkat tetap dilakukan sehingga orang tua itu jatuh terjerambab ke tanah, namun ketika tongkat itu sudah berpindah tangan, mendadak sinar kemilau itu pun sirna, tongkat itu ternyata kayu biasa. Pelan-pelan orang tua itu bangun dari tanah sambil menitikkan air mata. “jangan khawatir ini tongkatmu kukembalikan,” kata Raden Said.
“aku tidak menangisi tongkat yang kamu ambil” kata orang tua itu, tetapi lihatlah rumput di genggamanku ini, ia juga makhluk Allah yang terpaksa aku dzalimi tanpa sengaja. Aku menyesal dan merasa berdosa.” Kali ini kata-kata pak tua itu menyentuh kalbu Raden Said. Dan tiba-tiba ia menekurkan wajah, menyadari perbuatannya.
“Mengapa engkau memperlakukan aku dengan kasar? Tanya pak tua itu. “Maafkan aku pak tua,ini kulakukan untuk menolong orang-orang miskin, ujar Raden Said..
“kalau memang demikian niatmu, ambillah barang halal ini,” kata pak tua sambil menunjuk sebatang pohon didekatnya yang gemerlapan laksana emas, batang, dahan, ranting, buah dan daunnya berkilauan bagaikan emas. Tanpa pikir panjang Rden Said memanjat pohon itu, tapi baru sampai sepenggalah, buah-buah yang seakan berupa emas emas itu berguguran menimpa kepalanya hingga ia terjatuh dan pingsan.
NAFAS TERSENGGAL
Raden Said baru menyadari bahwa korbannya bukan orang biasanya, ia pastilah orang pintar yang mumpuni hingga mampu menyulap kayu dan pohon menjadi seperti emas. Timbul keinginannya untuk berguru kepadanya. Tapi ketika ia berusaha mencarinya orang tua itu sudah sirna, telah jauh meninggalkan kawasan Jatiwangi meski berjalan dengan langkah santai.
Raden Said menyusul tapi ternyata tak mudah, ia harus menguras tenaga berlari sekuat tenaga, dan baru berhasil menyusul setelah hampir mendekati sungai. Dengan nafas tersengal-sengal, Raden Said duduk terpekur didepan pak tua menyampaikan permohonan maaf atas perbuatannya, ia menyatakan keingianannya untuk berguru.
“Apa yang kamu harapkan dariku, anak muda” tanya pak tua itu, “aku ingin belajar ilmu agama kepada bapak,” jawab Raden Said, kali ini kata-katanya terasa jujur.
Pak tua yang tidak lain adalah Sunan Bonang itu menangkap maksud luhur Raden Said. “Baiklah anak muda, kalau memang anak muda ingin menjadi muridku tunggulah aku disini,” kata Sunan Bonang sambil menancapkan tongkatnya dipinggir sungai, setelah itu ia pun berlalu menyebrangi sungai laksana berjalan di tanah. Raden Said mematuhi perintah Sunan Bonang, ia menunggu ditepi sungai itu. Konon penantian ini berlangsung lama diamsalkan sampai badannya yang duduk bersila itu tertutup oleh rumput dan akar batang ilalang, sehingga Sunan Bonang sendiri tidak segera berhasil menemukannya ketika ia kembali ke tempat itu. Setelah ditemukan Raden Said, tidak bisa dibangunkan dengan cara biasa, melainkan dengan cara mengumandangkan Azan tepat ditelinganya.
Raden Said kemudian dibawa ke Tuban, di padepokan Sunan Bonang inilah ia di didik sampai berhasil menguasai ilmu agama. Sunan Bonang menganajurkan agar Raden Said berguru jepada Sunan Ampel di Ampeldenta Surabaya, dan kepada Syekh Sutabaris di Palembang, demikianlah, akhirnya Raden Said berhasil menggapai cita-citanya dan menjadi ulama besar. Ia termasuk seorang diantara sembilan wali penyebar agama islam di tanah Jawa dengan sebutan Sunan Kalijaga – si penjaga sungai alias kali, dari kecu, ia benar-benar menjadi suhu !
SYEKH MALAYA
Tatkala melaksanakan tugas kewaliannya, sunan Kalijaga justru tidak mengenakan “pakaian Dinas” ulama yaitu jubah putih,serban dan kain sarung. Ia justru sering tampil dengan pakaian orang kebanyakan yang sangat sederhana. Dalam menjalankan syiar agama, ia dikenal sangat dekat dengan masyarakat awam. Tradisi masyarakat setempat benar-benar dimanfaatkan, bahkan untuk menyatu dengan tradisi itu ia menciptakan tembang “Dandanggula” dan Dandanggula Semarangan. Ia juga dikenal sebagai syekh Malaya lantaran berdakwah sambil berkelana. Ia juga dikenal sebagai seniman rakyat dan berhasil menambah khasanah seni ukir dedaunan. Kala itu seni ukir Jawa bermotif manusia dan Hewan.
Demikian pula Beduk di masjid, yang di tabuh untuk mengundang orang untuk shalat, adalah buah karya Sunan Kalijaga. Upacara sekatenan yang dikenal di Solo dan Yogjakarta, Grebeg Maulid di Demak juga merupakan karyanya. Ketika masjid Demak dibangun ia mendapat tugas menyediakan salah satu dari Soko Guru (tiang utama masjid). Konon untuk menyediakan tiang utama itu ia membuatnya dari tatal (serpihan sisa kayu) hanya dalam satu malam. Tiang buatan Sunan Kalijaga itu kini masih berdiri tegak di masjid Demak.
Untuk mencapai daerah-daerah ia lebih banyak berjalan kaki, tak heran bila beliau banyak menggunakan nama samaran, seperti Ki Dalang Sida Brangti (jawa barat), Ki Dalang Bengkok (tegal), Ki Dalang Kumendung (purbalingga). Masa hidupnya sangat panjang, dari akhir kerajaan Majapahit atau akhir abad 15 sampai pertengahan abad 16 alias masa kesultanan Pajang. Ia juga menjadi penasehat para sultan Demak Bintaro, mulai Raden Patah sampai Sultan Trenggono, hingga beliau mendapat hadiah tanah di desa Kadilangu. Di tempat itulah ia wafat dan di makamkan. Ia meninggalkan tiga orang anak: Raden Umar Said yang kelak menjadi Sunan Muria, Dewi Rukayah dan Dewi Sofiyah hasil perkawinannya dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak.
FILOSOFI AJARAN SUNAN KALIJAGA
Bagi wong tani, petani, penemuan alat baru dibidang pertanian merupakan anugrah yang patut di pelajari dan di ikuti. Sebab, peralatan baru itu pasti memberikan manfaat bagi para petani untuk bekerja lebih efisien, yaitu mudah dan murah, tetapi dengan hasil yang banyak. Salah satunya adalah penemuan Luku (bajak) dan Pacul (cangkul), yang konon diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.
Soal penemuan bendanya bisa diperdebatkan, bisa saja kedua benda itu lebih dulu ditemukan sebelum Sunan Kalijaga lahir. Tetapi dalam hal ini, dialah yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai orang yang memberikan tafsir terhadap ajaran filsafat tentang Luku dan Pacul ini dengan segala maknanya. Dengan begitu orang Jawa menganggap Sunan Kalijaga sebagai penemu Luku dan Pacul.
Sebelum ditemukan alat Luku dan Pacul, petani Jawa menggunakan hewan, biasanya Kerbau untuk menginjak-injak tanah sawah tadah hujan – karena belum ada irigasi – menjadi siap ditanami benih. Hal seperti ini pernah terjadi ketika banyak petani Timur-Timor (kini Timor Leste) pada tahun 1970-an yang belajar pertanian di pedesaan Jawa. Mereka menceritakan, di daerahnya, sebelum menggunakan Luku Pacul, mereka mengolah sawah dengan menggunakan kerbau yang digiring atau berlari-lari di areal sawah mereka. Setelah terbajak oleh kaki-kaki kerbau itu, baru sawah tersebut ditanami benih padi. Begitu juga mungkin, yang dilakukan petani pada abad ke 15 di Jawa sebelum ditemukan alat Luku dan Pacul.
Konon, dalam cerita rakyat, banyak petani di tanah Jawa yang kemudian ngangsu kaweruh (mencari ilmu) ke Demak, khususnya ke Kadilangu, tempat kediaman Sunan Sunan Kalijaga. Kanjeng Sunan memberikan penjelasan tentang fungsi kedua alat itu secara teknis, juga ditambahi dengan berbagai makna lambang filsafat dari dari bagian-bagian Luku dan Pacul. Ajaran-ajaran itu kemudian di tuturkan kepada para petani secara turun-temurun.
Ajaran Sunan Kalijaga tentang pertanian, khususnya tafsir terhadap Luku dan Pacul merupakan ajaran yang di ikuti wong tani secara turun-temurun. Tentang Luku misalnya, Kanjeng memberikan makna simbolis dari bagian-bagiannya yang mengandung ajarn-ajaran dalam kehidupan manusia di dunia hingga di alam akherat.
Luku mempunyai bagian-bagian tertentu yang saling bergubungan dan menyatu, sehingga menjadikan alat itu fungsional secara efisien dan efektif.
Pertama, Cekelan, atau pegangan. Maksudnya manusia hidup harus mempunyai pegangan, atau dalam dalam bahasa yang populer, Pedoman hidup. Gdan bagi para murid Sunan kala itu, pedoman hidup itu adalah kepercayaan kepada Allah SWT dan mengikuti syariat Allah yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu agama Islam. Karena itulah, banyak petani Jawa yang kemudian beralih agama. Dari penganut agama Hindu atau Budha serta dari Animisme atau Dinamisme, menjadi muslim.
Kedua, Pancadan, atau tumpuan. Maksud simbol benda ini adalah amalan . semua ilmu dan pengetahuan itu harus diamalkan. Dalam agama Islam, setiap orang yang telah mengerathui ilmu atau pengetahuan agama harus mengamalkannya. Ada sebuah anjuran pula, “Sampaikanlah ilmu yang kamu dapat dari Al-Qur’an, meski satu ayat.” Jadi pedoman hidup yang dimiliki itu harus diamalkan dan disampaikan kepada orang lain, sehingga kita tidak disebut Jarkoni (bisa ngajar, ora bisa ngelakoni), bisa mengajar tapi tidak bisa mengamalkan.
Ketiga, Tandhing, atau pasak. Maksudnya adalah membanding-bandingkan. Disini bukan dalam arti dengki, melainkan ilmu perbandingan (komparasi) merupakan sarana agar kita bisa memutuskan secara tepat, apa pilihan yang terbaik dari berbagai macam pilihan yang ada. Kita memiliki pedoman hidup sendiri, tentu saja ada pedoman hidup lain di luar kita, maka pasti akan muncul perbandingan. Perbandingan inilah yang kemudian membuat orang Jawa, pada waktu itu, mengikuti ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Sunan Kalijaga, meninggalkan ajaran-ajaran atau pedoman hidup sebelumnya. Karena ajaran atau pedoman hidup yang baru itu ternyata lebih cocok daripada pedoman hidup mereka mereka sebelumnya.
Bagian keempat dari Luku adalah Singkal, atau alat pembalik tanah. Singkal ini disrtikan secara singkat dengan makna Sing Sugih Akal (kaya atau luas pemikirannya). Jadi seorang petani tidak boleh cepat menyerah kepada nasib, atau yang disebut Fatalis, tetapi harus bekerja keras dan berpikir cerdas (kreatif) untuk mengolah sawah dengan pengelolaan (manageman) serta alat baru (inovasi), sehingga menghasilkan kerja yang lebih baik. Penemuan alat-alat baru di bidang pertanian saat ini, seperti benih unggul, pupuk, mesin-mesin pertanian, dan lainnya, tidak terlepas dari peran petani sendiri serta para ilmuan sing sugih akal.
Begitu juga dalam kehidupan, selain tetap berpedoman pada agama, kita juga perlu menambah ilmu pengetahuan. Sebab agama tanpa ilmu akan menjadi lumpuh, sebaliknya ilmu tanpa agama akan menjadi buta.
Bagian Kelima, disebut Kejen, atau mata Singkal. Kata ini berasal dari kata Keijen. Artinya menuju kepada yang satu. Yaitu satunya pikiran, bulatnya tekad menuju satu tujuan atau cita-cita. Seperti dalam doa kita sehari-hari, selamat di dunia dan di akherat.
Bagian keenam, disebut Olang-Aling, atau penghalang. Dalam menempuh suatu tujuan atau cita-cita, pasti ada ujian atau halangan yang merintangi. Tuhan berfirman “Orang yang beriman itu bukan orang yang tidak pernah diuji. Orang yang beriman dan dicintai Allah justru orang-orang yang banyak ujiannya. Ujian, kendala atau rintangan selalu ada di hadapan perjalanan hidup manusia. Karena itulah manusia diwajibkan berikhtiar, berusaha dan harus sugih akal.
Manusia itu tidak boleh menyerah kepada nasib, thenguk-thenguk nemu kethuk, berharap sesuatu tanpa kerja. Kita bisa mengatakan Sugih tanpa bandha, kaya tanpa harta, tetapi kita tidak bisa mengatakan “Kaya tanpa Kerja,” sebab ujian Sugih adalah bekerja. Bekerja pun harus baik dan benar, jangan yang kotor dan salah. Intinya bagaimana wong Tani tersebut menghadapi setiap halangan sebagai peluang, kmeudian menjadikan setiap peluang itu sebagai keuntungan, yang akhirnya keuntungan itu menjadi keagungan (di dunia dan akhirat)
Bagian terakhir disebut Racuk, ujung Luku, diambil dari kata Arah-Pucuk, yaitu arah depan dan atas. Artinya setiap menghadapi penghalang tadi, kita harus sabar, tawakal dan ikhlas, kendati tidak pernah melepaskan apa yang sedang menjadi cita-cita kita.
Sunan Kalijaga dianggap sebagai penemu Luku, yang memaknai simbol-simbol alat bajak itu sebagai hidup bagi wong tani. Begitu juga sang Sunan dipercaya sebagai penemu Pacul atau cangkul. Kedua alat tersebut pada waktu itu, sekitar abad ke 15, dianggap sebagai alat modern. Sebelumnya untuk mengolah tanah, wong tani hanya menggunakan Gejuk, bentuknya seperti Linggis, cuma agak besar, bisa terbuat dari kayu atau besi. Caranya, Gejuk di tancapkan ke tanah, kemudian diungkit, sehingga tanah menjadi terbuka. Tentu saja cara ini sangat menguras tenaga, sekaligus tidak efisien dan tidak efektif.
Penemuan alat Pacul yang di nisbatkan kepada Sunan Kalijaga masih diperdebatkan, tetapi pengakuan ini masih didasarkan seperti pada kasus wayang kulit. Cerita wayang serta peragaannya sudah lama ditemukan orang Jawa, tetapi Sunan Kalijaga mampu membesut cerita wayang itu menjadi bernafas Islam serta dengan penampilan dan falsafah baru, sehingga beliaulah yang dianggap sebagai penemu wayang kulit.
Begitu juga, bisa jadi Pacul sudah lama ditemukan sebelum Sunan Kalijaga, tetapi makna simbolis Pacul, sehingga memuat ajaran agung, adalah hasil kreatifitas Sunan Kalijaga. Wong tani akhirnya secata Tutur-tinular, dari mulut ke mulut menganggap, Pacul adalah salah satu penemuan Sunan Kalijaga.
Strategi dawah Sunan Kalijaga adalah dengan menggunakan cara Tapa Ngeli, ngeli tapi ora keli. Maksudnya, tetap mengikuti gelombang kehidupan masyarakat, tetapi beliau memberikan warna dan makna baru dalam arus zaman itu.
Islam diajarkan lewat perlambang alat-alat pertanian. Dengan begitu, mereka akan lebih dekat pengertiannya terhadap agama Islam. Sunan Kalijaga sadar bahwa agama Islam datang dari negeri Arab, kitabnya menggunakan bahasa Arab, shalatnya juga menggunakan bahasa Arab, hal ini mungkin sangat menyulitkan pengikut baru yang sebelumnya sudah terbiasa dengan ajaran lama yang menggunakan bahasa Jawa. Dalam kaidah Islam, ada prinsip, “tetap mengikuti tradisi lama yang baik, tetapi akan memakai tradisi baru , kalau tradisi itu terbukti lebih baik.”
Karena itulah, ketika menjadi muballig keliling – sehingga mendapat gelar Sunan Malaya – Sunan Kalijaga harus menggunakan bermacam cara, sampai rakyat paham, apa itu Islam, dengan tidak mencabut budaya lama yang telah mereka terapkan. Ini terbukti, tidak hanya Luku dan Pacul, yang diberikan makna filosofi kehidupan, tetapi benda-benda lain juga diberikan makna yang selaras dengan pengertian masyarakat.
Kentongan misalnya, Suara kentongan itu di makna tertentu. Suara “Tong-Tong-Tong” artinya, “Hai, masjid masih kosong!” karena itu kalau mendengar kentongan, cepat datang ke masjid atau mushalla. Lebih lanjut, kentongan sekarang bertambah fungsinya menjadi alat ronda atau memberikan tanda-tanda tertentu di pedesaan, sehingga penduduk desa tahu sedang terjadi apa di desanya.
TENTANG PACUL
Bagian pertama dari Pacul juga dinamakan Pacul, yaitu bagian mata tajamnya. Maksudnya diambil dari kalimat Ngipatake barang sing muncul, atau menyingkirkan segala yang menonjol. Artinya, rintangan atau segala macam kesulitan dan hambatan serta masalah-masalah yang tidak benar (batil) harus disingkirkan.
Ini sesuai dengan prinsip agama Islam, Amar Ma’ruf nahi mungkar, menganjurkan beramal baik dan mencegah kemungkaran. Menjadi tugas menusia untuk berbuat baik, dan sekaligus menganjurkan kepada orang lain untuk berbuat baik. Kemudian sebaliknya harus menghindari hal yang buruk serta mencegah orang berbuat buruk (mungkar).
Dalam pepatah Jawa ada ungkapan Becik ketitik ala ketara. Sebab, yang baik itu jelas dan yang buruk itu juga jelas, tidak ada untuk ragu-ragu. Atau ungkapan lain, Sura dira jaya ningreat lebur dening pangastuti. Keburukan begaimanapun kuatnya akan kalah dengan kebaikan.
Bagian kedua, adalah Bawak, yaitu tempat menancapkan mata tajam pacul. Maksudnya diambil dari kata-kata Obahinh awak (bergeraknya badan. Ini adalah simbol bagi orang yang mau bekerja dan beraktifitas. Sebab tidak ada harapan yang bisa dicapai tanpa ikhtiar.
Dari hal yang tampaknya kecil ini, Sunan Kalijaga memberikan pengertian tentang filsafat takdir kepada wong tani. Filsafat takdir merupakan filsafat paling sulit dalam ajaran agama Islam. Maka dengan simbol yang mudah dimengerti oleh rakyat jelata, mereka akan mudah memahaminya.
Bagian ketiga Doran, menurut Sunan Kalijaga ini memiliki arti ndedunga marang Pangeran, berdoa kepada Allah.
Sunan Kalijaga mengingatkan, sesudah menyingkirkan segala rintangan hidup, dan kemudian bekerjasesuai dengan kemampuan, kita harus memasrahkan hasilnya kepada Allah. Dalam sikap pasrah itu, kita dianjurkan tetap berdoa, sebab kita percaya hanya Allah yang menentukan segalanya. Manusia hanya mampu berkehendak, tetapi hanya Allah lah yang menentukan.
Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang paling terkenal di pulau Jawa. Beliau adalah muballig keliling yang Ajer-ajur, membaur bersama masyarakat setempat. Ia tahu betul bagaimana menyelami situasi dan kondisi masyarakat setempat. Karena itulah ajarannya terus hidup hingga sekarang secara Tutur-Tinular di kalangan orang Jawa.
Di dalam pribadi Sunan Kalijaga terdapat empat kekuatan, yaitu penguasaan Filsafat, pendidikan, ilmu kemasyarakatan (Sosiologi) dan kebudayaan (Antropologi). Oleh karena itu, ia paham betul bagaimana mental, tradisi dan kebudayaan masyarakat Jawa.
Sebagai muballig keliling, Sunan Kalijaga, memberikan dakwah kepada semua lapisan masyarakat, misalnya tema tentang asal-usul kehidupan. Hakikat kehidupan, dan apa yang terjadi sesudah mati. Tema yang terakhir ini sangat populer sampai sekarang, dengan ungkapan yang lebih lengkap, Sangkan Paraning dimadi, purwa madya wasaning urip, asal-usul kehidupan dari awal, tengah sampai akhir kehidupan.
Sangkan Paraning Dumadi, mendalami pengertian kalam Allah “Laa Ilaha Illallah kholiqusyaia huwallah minal adam ilal wujud tsummal adam ba’dal maujud.” Tidak ada sesembahan kecuali Allah, pencipta segala sesuatu adalah Allah, dari tidak ada, kepada ada, dalam pengertian lain, dari gaib menajdi ada, kemudian gaib lagi sesudah ada.
Ilmu lain yang diajarkan Sunan Kalijaga, ialah Panunggalan Jati, ilmu penjiwaan tentang sifat Shiddiq (bertin dan bicara benar), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan dakwah Islam), dan Fathonah (cerdas akal) kedalam watak dan kepribadian seseorang. Ilmu Pangracutan, ilmu tentang penjiwaan Syariat, tarekat, makrifat, hakikat dalam segala amal perbuatan seseorang.
Ilmu Mustika Jati, yaitu ilmu tentang cara mempergunakan akal pikiran yang benar. Ilmun olah Kamuksan, yaitu ilmu tentang penyatuan jiwa kedalan Rahmat Allah. Terakhir ilmu Kasedan Jati, yaitu ilmu untuk memperoleh kematian yang sempurna (mati secara khusnul khatimah). Ilmu ini juga disebut sebagai ilmu Margo Nirwana” atau Kamuksan Jati.
PENINGGALAN SUNAN KALIJAGA
Sunan Kalijaga adalah seorang ulama yang dapat membawa diri dalam pergaulan dengan semua lapisan masyarakat. Jika kebanyakan para walisongo berdakwah dengan cara mendirikan pesantren, tapi Sunan Kalijaga lebih suka berdakwah dengan cara berkeliling daerah-daerah. Sebab itulah beliau terkenal sebagai Syekh Malaya, artinya seorang muballigh yang menyiarkan agama dengan mengembara.
Disamping itu Sunan Kalijaga selain dikenal sebagai Waliyullah juga dikenal sebagai seorang ahli Seni dan Budaya, karena memang banyak seni dan budaya hasil ciptaannya yang sampai saat ini masih di ingat orang, seperti:
1. Dalam seni pakaian, beliau adalah orang pertama yang menciptakan baju taqwa yang kemudian disempurnakan oleh Sultab Agung dengan Destar Nyamping dan dilengkapi dengan rangkaian Keris dan lain sebagainya. Sampai sekarang baju ini masih tetap digemari oleh masyarakat Jawa.
2. Di bidang seni suara, beliau adalah pencipta tembang Dandang Gula dan Dang Gula Semarangan.
3. Kalau zaman sebelum sunan Kalijaga, kebanyakan seni ukir hanya bermotif Manusia dan binatang, tetapi setelah zamannya Sunan Kalijaga, seni Ukir banyak berubah dengan motif Dedaunan, bentuk Gayor atau alat tempat penggantungan gamelan dan bentuk ornamen lainnya, yang sampai sekarang di akui sebagai seni ukir nasional.
4. Dialah yang pertama kali mempunyai gagasan menciptakan beduk di Masjid untuk memanggil orang untuk salat berjemaah. Mula-mula beliau memerintahkan seorang muridnya yang bernama Ki Pandan Arang (Sunan Bayat) untuk membuat beduk di Masjid Semarang.
5. Dia juga yang memprakarsai acara Grebek Maulid, yang mula-mula berupa pengajian akbar yang diselenggarakan para wali di masjid Demak untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
6. Sunan Kalijagalah yang menciptakan Gong Skaten, artinya Gong Syahadatain yang berarti dua kalimat Syahadat. Gong Skaten ini mempunyai falsafah , suara setiap alat gamelan yang menyatu diartikan: disana… disini… disitu mumpung masih ada waktu, yaitu mumpung masih diberi kesempatan hidup, berkumpullah dan cepat-cepat masuk agama Islam. Kalau sudah mati biar tidak termasuk orang yang merugi.
7. Sebelum Sunan Kalijaga, bentuk wayang adalah bergambar Manusia, karena gembar seperti itu dilarang hukumnmya, maka Sunan Kalijaga membuat kreasi baru, bentuk wayang dirubah mirip karikatur, digambar dan di ukir pada kulit binatang. Satu lukisan untuk satu wayang. Sedang di zaman sebelumnya satu lukisan untuk satu adegan. Dan msih banyak lagi hasil karya Sunan Kalijaga yang sangat bernilai religius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar